Belajar lukisan artinya mempelajari sejarah. Itu motivasi kolektor
dan kurator ternama Oei Hong Djien saat memilih lima pelukis sebagai maestro
seni rupa Indonesia. "Mereka adalah tokoh yang punya kekuatan dan
kontribusi yang besar bagi seni rupa modern di Indonesia," kata Oei Hong
Djien saat membuka pameran karya lima maestro itu di museum pribadinya di
Magelang, 5 April 2012.
Lima maestro dipilih turut berjuang untuk kemerdekaan sambil meletakkan pondasi
untuk seni rupa Indonesia. Era mereka berbeda dengan Raden Saleh yang hidup
dalam masa kolonial. Lima maestro ini hidup dalam masa pra kemerdekaan, dan
terus berkarya saat masa revolusi. Hidup dalam masa peralihan, sejarah
Indonesia bisa dilihat dari karya-karya mereka.
Oei menjelaskan, saat ini dunia seni rupa terus berkembang seiring dengan
berkembangnya teknologi. Dari medium tradisional, seni rupa kini bisa
diterapkan dalam aneka medium. "Sedangkan lima maestro ini berkarya secara
konvensional, secara ekonomi mereka juga mengalami masa-masa sulit saat miskin
dan sengsara," kata OHD.
Dia berharap karya-karya lima maestro ini bisa dinikmati lebih banyak orang
melalui pameran di museum pribadinya yang dibuka untuk publik. Koleksinya lebih
dari 2000 ribu lukisan yang akan diungkap sedikit demi sedikit. "Seniman
Indonesia tak kalah dengan seniman luar," kata dia.
Berikut ini sekilas mengenai lima maestro Indonesia itu seperti dituturkan oleh
Oei yang mengenal baik mereka pada masa hidupnya. Masing-masing punya ciri khas
sendiri-sendiri.
Hendra Gunawan: Bebas
pengaruh asing.
Hendra adalah
seniman yang menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Dia
dituduh terlibat pemberontakan PKI dan dipenjara selama belasan tahun. Padahal
sejatinya Hendra tidak terlibat politik praktis. Dia hanya menjadi anggota
Lekra, lembaga kesenian bentukan PKI. Hendra disebut dekat dengan rakyat karena
dia melukis masalah keseharian rakyat.
Di penjara Hendra melukis. Hal itu menjadikan dia
sebagai pelukis Indonesia yang paling bebas dari pengaruh gaya dan aliran dari luar
negeri. "Hendra tidak kena pengaruh dari luar karena selalu berada di
penjara. Dia murni pelukis Indonesia," kata OHD.
Lukisan Hendra
dikenal karena pemilihan warnanya yang berbeda. Hendra juga dikenal sangat
memuliakan wanita. Seiring berjalannya waktu, pilihan warna pada lukisan Hendra
menjadi makin cerah.
Meski dipenjara, menurut Oei, Hendra tak dendam.
"Dia bahkan melukis potret diri Presiden Soeharto," kata Oei. Sayang
lukisan itu belum dapat dipamerkan karena sedang direstorasi. Hendra juga
melukis beberapa lukisan mengenai kejadian di lubang buaya, menurut versi yang
diceritakan Orde Baru.
Widayat: Picasso Indonesia
Widayat dijuluki Oei sebagai Picasso Indonesia. Meski demikian, Widayat bukan
hanya melukis abstrak. Lukisan pertamanya tahun 1953. Saat itu lukisan Widayat
masih beraliran realis.
Widayat melukis dirinya bersama adik
perempuannya.
Tahun-tahun berikutnya lukisan Widayat berubah menjadi abstrak. Widayat
banyak terpengaruh Picasso, juga dalam melukis tubuh telanjang. Tapi lukisan
telanjang karya Widayat berbeda dengan karya Affandi yang penuh gairah.
"Lukisan nude karya Widayat lebih lucu, bernuansa romantik," kata
OHD.
Oei menyebut Widayat sebagai Picasso Indonesia
karena kreativitasnya. Widayat punya etos kerja tinggi, tak ada satu haripun
yang dia lewatkan tanpa melukis. "Karyanya apolitis tapi punya sifat
magis," kata Oei.
Affandi:
Emosi dalam potret diri
Affandi mungkin pelukis paling terkenal
dibanding empat maestro lain. Sebagian besar lukisan Affandi bertema potret
diri. Meski Affandi hanya satu orang, ternyata lukisan yang dihasilkan selalu
berbeda karena moodnya saat melukis tak akan pernah sama. Contohnya, dua
lukisan self portrait yang dibuat tahun 1960 dan 1961 tapi sangat berbeda.
Potret
diri Affandi tahun 1960 dan 1961.
Menurut OHD, lukisan merupakan
penyaluran jiwa Affandi, dari apa yang ada dalam pikirannya, disalurkan dalam
lukisan serta merta. Bahkan, Affandi kadang tak memakai kuas dalam melukis.
"Affandi sangat emosional, dia mencurahkan jiwanya melalui subyek yang
dilukisnya," kata OHD.
Selain
potret diri, Affandi sangat dipengaruhi budaya Bali. Dia banyak melukis barong
dan adu ayam. Oei juga punya satu lukisan Affandi yang disebutnya sebagai
mahakarya lukisan interior. Lukisan itu menunjukkan interior kelenteng di Jogja
dengan warna dominan merah dan hitam.
Lucunya,
Affandi adalah satu-satunya pelukis yang pada masa itu memperbolehkan kolektor
membeli lukisannya dengan cara dicicil. "Terserah berapa kali, berapa
lama. Akibatnya lukisan Affandi paling laku," kata Oei sambil tertawa.
S Sudjojono
Berbanding
terbalik dari Hendra, Sudjojono justru politikus Partai Komunis Indonesia tapi
tak dipenjara. Padahal Sudjojono menjadi anggota DPR dari Partai Komunis
Indonesia karena kelihaiannya berpolitik. Sudjojono lepas dari tuduhan makar
karena dia sudah lebih dulu keluar dari keanggotaan PKI karena menikah lagi
dengan seorang perempuan.
Sebagai
politikus, lukisan Sudjojono juga paling politis. Selalu ada pesan yang dia
ingin sampaikan melalui lukisannya. Misalnya, penari topeng menggambarkan
ketidakjujuran. Bahkan, kerapkali dia menuliskan tulisan untuk menjelaskan
maksud lukisannya. Dalam lukisan berjudul 'Perjuangan belum selesai', Sudjojono
menulis "Perdjuangan belum selesai, djalan masih pandjang menuju gerbang
kemerdekaan."

Perjuangan
belum selesai.
Sudjojono adalah pelukis yang
intelek. Karyanya diciptakan melalui proses pemikiran dan punya konsep. Tapi
dia sering dikritik karena dianggap disusupi ideologi kiri dalam melukis. Tak
banyak karya buatan masa revolusi yang tersisa. Hampir 50 karya dibakar Belanda
saat kumpeni menyerbu Jogja.
Soedibio: Bapak surealis Indonesia

Tidak tanggung-tanggung, Oei
menyebut Soedibio sebagai bapak surealis Indonesia. "Tahun 40-an dia sudah
membuat karya surealis, sangat melampaui zamannya," kata Oei.
Sayang,
karena persoalan pribadi Soedibio menghilang dari dunia seni rupa selama 15
tahun. Akibatnya, nama Soedibio paling tidak terkenal dibanding yang lain.
Karyanya masih dihargai lebih murah daripada beberapa pelukis muda.
Keunikan
Soedibio ada pada gaya lukisannya yang berubah dengan drastis sesuai kisah
hidupnya. Lukisannya pada zaman revolusi bernuansa kelam dan meununjukkan
kekerasan. Dia kemudian menghilang, dan kembali lagi dengan gaya lukisan yang
lebih lembut. "Setelah dia muncul, semua kekerasannya hilang. Pada akhir
hidupnya, lukisannya menjadi bergaya dekoratif," kata Oei.
Hidup
Soedibio melarat. Lukisannya banyak yang dijual untuk menghidupi lima anaknya
yang masih kecil. Kini istri Soedibio sudah tak punya satupun lukisan karya
almarhum suaminya.
Soedibio
meninggal tahun 1981, meninggalkan lima anak. Si bungsu berusia 40 hari dan
sulung berusia 9 tahun. "Kalau saya kangen lukisan Bapak, saya pergi ke
tempat kolektor untuk melihat karya suami saya," kata istri Soedibio,
Saitem, saat menghadiri pameran lima maestro di Magelang.